Monday, September 21, 2009

Lebaran

Sudah menjadi ritual tiap tahun, saat lebaran tiba, maka kesibukan yang berbeda bagi ibu-ibu rumah tangga yang bekerja seperti saya adalah menjadi ibu rumah tangga sesungguhnya. Sudah terbayang, ritual pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang akan menghiasi liburan lebaran SETIAP TAHUNnya. Bagun pagi,menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak mandi, menyiapkan makan siang, mencuci perabotan masak maupun peralatan makan, mencuci baju, setrika baju, menyapu lantai, mengepel lantai, menyiram tanaman, memastikan kamar anak-anak tertata rapi dan benda-benda ada pada tempatnya dan .... mandi.

Sementara pada saat yang bersamaan, si mbak, yang biasanya menjadi asisten di rumah yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di atas, sedang membuat ketupat, makan ketupat, bercengkrama dengan keluarga dan menikmati Hari Raya ini dengan keluarga besar, sanak famili serta kerabat dan teman, sambil tertawa riang, tanpa harus memikirkan apakah sudah beres memasak atau mencuci baju. Tentu saja mereka pantas untuk mendapatkan semua keriangan itu, setelah hampir setahun berpisah dari sanak keluarga dan terlebih setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Perjalanan yang ditempuh dalam waktu belasan jam, dua kali lipat jarak tempuh dalam waktu normal, bukan menjadi penghalang untuk menikmati sukacita Idul Fitri di kampung halaman mereka. Perjalanan mudik dengan bermacet-macet dan menghabiskan waktu yang luar biasa mengundang keletihan badani, menjadi sebuah perayaan tersendiri yang mungkin telah dianggap menjadi ritual tahunan jelang Idul Fitri.

Ternyata...
Kembali ke rumah. Rasanya, baru membayangkan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga tadi saja sudah melelahkan. Lebih baik berkutat dengan tumpukan buku-buku dan bekerja di depan laptop berjam-jam dari pada harus berkelahi dengan cipratan minyak panas dari ikan-ikan yang sudah tercemplung dalam wajan. Atau harus menggosok pantat panci yang-ternyata selama ini tidak dibersihkan benar- sudah mulai kehitam-hitaman. Lihatlah mesin cuci ini, lumut-lumut yang sudah mulai menduduki plastik penutup mesin pengeringnya, rasanya tidak bisa didiamkan merajalela. Itu perlu dibersihkan. Kemudian tumpukan baju-baju yang harus distrika. Hmm....dimulai dari mana ya? Kamar si mbak juga ternyata berdebu. Kamar mandi? sudah saatnya dibersihkan. Duh..betapa selama ini hal-hal yang kelihatannya sepele malah akan mencuri waktu lebih lama lagi dari sekadar menjalankan rutinitas pengaturan tata laksana rumah tangga sehari-hari.

Inilah daftar hal-hal yang perlu dibenahi:
- safety mat untuk lantai dekat cuci baju -- salah-salah, bisa terpeleset di lantai dekat air keran
- pisau -- satu pisau yang tajam tidak cukup untuk memotong buah, memotong daging, mengiris bawang. Dua pisau lainnya, tumpulll
- selang baru -- kasihan si mbak, ternyata selama ini harus mengambil air dari ember untuk dituang ke mesin cuci ketimbang menggunakan selang, mbok ngomong toh mbak--
- kain pel -- selama ini lantai bersih, di pel pakai apa ya?
- setrika baru -- nah..baru ketahuan setelah Fia menyetrika bajunya sendiri. Kalau strika itu sudah panas, harus dicabut kabel listriknya. Dan lihat kabel-kabelnya sudah menunjukkan badannya keluar.. wah...sungguh berbahaya. Ini list untuk setelah hari ketiga tanpa si mbak. Masih ada tujuh hari ke depannya.

Belajar dari ketidakhadiran si mbak
Saat menyiapkan makanan malam tadi, tiba-tiba Fia berkomentar, ternyata enak juga nga ada di mbak ya ma. Semuanya bisa kita buat sendiri. Mama nga usah kerja aja. Saya tidak berkomentar. Menyiapkan makan buat anggota keluarga memang mempunyai keunikan dan kepuasan tersendiri. Apalagi kalau nasi goreng buatan kita diancungi jempol dan mereka minta tambah lagi. Padahal, itu siasat makan malam, karena hari ini tidak ada pasar jadi tidak belanja dan stock di kulkas sudah habis. Untung masih ada buah apel untuk mengimbangi sayur yang tidak tersedia hari ini. Kemudian juga saat bersibuk-sibuk di dapur, mereka keluar masuk hanya sekadar menanyakan kita makan apa lagi ma? Senangnya, menikmati kesukaan mereka yang menunggu dengan penuh harap, menu apa yang akan keluar untuk makan siang atau makan malam mereka. Meski, ada satu malam, kami harus makan di luar karena rasanya sudah tidak mungkin lagi untuk masak makan malam, karena tubuh yang sudah terlalu letih.

Hal yang pasti, ternyata kami tidak harus mengambil semua pekerjaan itu sendiri. Anak-anak yang sudah semakin besar tampaknya juga sudah dapat 'diperbantukan' untuk membantu kami orang tuanya. Apalagi, inisiatif membantu keluar dari mulut mereka sendiri. MEski kadarnya tidak lebih dari kecerewetan ibu-ibu yang berkaitan dengan kerapihan rumah, tentunya. Ah...waktu berjalan begitu cepat. Setiap tahun, pasti ada yang berubah meski ritual pekerjaan rumah tangga tidak berubah. Kebersamaan tanpa si mbak ternyata punya nilai sendiri dalam kehidupan berumah tangga. Hubungan anggota keluarga semakin akrab satu sama lain, karena adanya beban sepenanggungan bersama. Kesempatan untuk berbicara dengan anak-anak dari hari ke hati juga dapat dilakukan kapan saja, bahkan saat sedang mencuci baju bersama. Kesempatan juga untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan dan aturan-aturan yang berkaitan dengan tata cara dan etikat dalam kehidupan untuk anak-anak. Pola makan dan minum anak-anak juga terpantau dengan jelas. Apakah mereka minum susu dengan benar, berapa banyak porsi makan siang mereka, apa yang mereka lakukan di sekolah? semua terpantau baik secara kasat mata maupun dari perbincangan-perbincangan ringan sehari-hari. Saya yakin, pengalaman tanpa si mbak, pasti bervariasi dari satu rumah dengan rumah lainnya. Apalagi rumah yang biasa tanpa si mbak ya? Wah ..bersyukurlah mereka.

Demikianlah, ternyata quality time dengan anggota keluarga dapat terjalin dengan lebih sempurna, bukan saat berlibur bersama, tapi saat si mbak mudik. Meski tubuh letih, tapi banyak yang bisa didapat dari waktu-waktu bersama ini.

Mbak, kembali kapannn???